“Narasi besar bukan hanya soal sejarah atau mitologi; ia adalah alasan kita bertindak, alasan kita ada. Tanpa narasi itu, kita hanyalah sekumpulan pulau yang terapung.”
Imam Mujahidin Fahmidi, Guru Besar Universitas Hasanuddin
“Bre, Pergi Yuk”. Aku yang baru bangun tidur terkejut, belum saja cuci muka, tiba-tiba diajak pergi. Yugni Minju, salah satu sobat kentel di Jogja, ingin mengajak pergi ke suatu tempat. Sebuah tempat "persemayaman Raja Rakai Pikatan," katanya. Aku yang sudah terlalu lama murung di kamar meng-iya-kan saja. Rasanya tubuh ini sudah beku, seperti es setelah sekian lama berada dalam lemari pendingin.
Nama Raja Rakai Pikatan memang tidak terdengar asing. Sepertinya, nama itu pernah tertulis pada lemabaran-lembaran buku paket pelajaran dan atlas perpustakaan waktu duduk di bangku sekolah dulu. Raja Rakai Pikatan selalu erat kaitannya dengan Kerajaan Mataram Kuno dan Candi Prambanan yang sangat erat kaitannya dengan mitologi kisah romansa Bandung Bondowoso dan Roro Jonggrang. Namun, dari beberapa laporan hasil penelitian menyebutkan tidak ada kaitannya dengan kisah tersebut. Justru, para arkeolog sepakat bahwa Candi Prambanan adalah Mahakarya dari Raja Rakai Pikatan yang kono katanya dibangun untuk menandingi kemegahan Candi Borobudur yang dibangun oleh wangsa Syailendra yang beragama Budha, sedang Rakai Pikatan berasal dari wangsa Sanjaya yang beragama Hindu, karena itu Candi Prambanan erat sekali kaitannya dengan agama Hindu.
Mungkin, kalian mengira aku akan diajak pergi ke Candi Prambanan. Akupun awalnya berpikir begitu. Nyatanya, ia mengajak ku ke desa Sambirejo, salah satu desa yang terletak di perbukitan. Mesikpun masih berada di kawasan Kecamatan Prambanan, Kabupaten Sleman, Yogyakarta, namun aku tidak melihat adanya Candi Prambanan. Aku yang tidak pernah melihat secara langsung bentuk bangunan Candi Prambanan, setidaknya pernah melihatnya di gambar-gambar atlas perpustakaan sekolah dulu, bentuknya seperti menara yang menjulang ke langit. Dulu aku membayangkan betapa tingginya bangunan yang mirip menara itu. Malah, yang ku saksikan di atas perbukitan itu, sebuah bangunan berbentuk segitiga, tidak setinggi yang aku bayangkan seperti Prambanan pada waktu dulu.
“Ini sepertinya bukan Prambanan bre,” ucapku sedikit kecewa pada Minju, tak sesuai ekpektasi di Asrama sebelum berangkat.
“Aku tidak bilang, kita mau ke Prambanan,” jawabnya tak merasa berdosa. “Ini namanya Candi Ijo,” lanjutnya.
Terdengar aneh dan sangat asing. Candi Ijo memang tak sepopuler Candi Prambanan atau Candi Borobudur yang hampir menjadi destinasi wajib untuk dikunjungi oleh wisatawan, baik asing maupun domestik. Namun, Candi Ijo yang yang terletak di atas perbukitan dengan panorama yang indah dan hijau, sangat cocok bagi wisatawan untuk mengabadikan momen, apalagi saat menyaksikan matahari terbenam di sore hari. Atas dasar itulah, Candi Ijo disebut Gumuk Ijo, bukan karena bentuk arsitekturnya berwarna hijau.
Pada dasarnya, penyematan sebutan Candi Ijo berdasarkan temuan pada Prasasti Poh tahun 906 Masehi berbahasa Jawa Kuno pada penggalan kalimat, “... anak wanua i wuang hijo ..." yang artinya anak desa, orang Ijo. Dalam catatan sejarah, prasasti ini telah ada sejak masa pemerintahan Raja Sri Rakai Ratukura Diyah pada zaman kerajaan Mataram Kuno.
Dari luar, arsitektur Candi Ijo sudah terlihat sangat megah, dengan satu bangunan candi utama yang dikawal oleh tiga candi kecil yang menghadap candi utama. Aku dan Minju makin tertarik untuk melihat dari dekat, melihat struktur dan dekorasi bangunannya yang sangat klasik dan unik. Kami bergegas menuju loket masuk. Hanya membutuhkan 15 ribu per orang bagi usia dewasa untuk dapat mengakses seluruh sudut area candi, sedang untuk usia anak-anak hanya butuh 10 ribu. Jadi, kami membayar 30 ribu, itu termasuk asuransi kecelakaan di area candi.
Sekitar 15-20 langkah dari loket, kita disajikan sebuah tangga yang cukup panjang dan tinggi, “tangga menuju syurga” ucapnya Minju membahasakan kekultusan Candi Ijo. Di ujung tangga, kita disambut oleh dua buah balok batu setinggi manusia lebih sedikit, menjadi pintu masuk yang lurus menghadap candi utama. Namun pandangan kita dihalangi oleh candi kecil bagian tengah yang membelakangi.
Meskipun telah sampai di ujung tangga, namun keberanian kami untuk melangkah lebih lanjut sirna oleh sebuah tulisan larangan untuk menginjakkan kaki di atas batu-batu yang tersusun rapi dan halus, menghampar sepanjang kiri ke kanan dan kanan ke kiri. Kami yang masih buta terhadap pengetahuan tentang Candi, tentu bingung tentang apa yang nama dan kenapa dilarang. Barangkali, papan informasi sangat dibutuhkan, namun sesederhana infografis tak ada yang kami temukan.
Aku dan Minju, yang bisa dikatakan awam terhadap percandian, terpaksa turun lagi bertanya terkait kalimat larangan tersebut, menu penjaga loket. Ternyata yang dimaksud adalah yang mengelilingi area dan bangunan candi, kami menyebutnya sebagai teras untuk sekedar menyederhanakan penyebutannya. Sedang untuk alasan larangannya, penjaganya saja tidak tahu, apalagi kami yang awam. Namun, aturan tetaplah aturan, wajib untuk dipatuhi, apalagi tempat yang disucikan oleh para agamawan. Bukan berarti kami mempercayai kesepakatan merek yang dapat mengganggu konsep aqidah, namun hal itu adalah bentuk toleransi yang menggambarkan sikap saling menghargai dan menghormati.
Setelah memahami larangan-larangan tersebut, kami mencoba naik kembali. Kali ini keberanian itu kembali lagi, seolah terserap dari hamparan rumput hijau yang asri setelah dirapikan oleh petugas pemotong rumput.
Kami sudah berada depan pintu masuk candi utama, disambut oleh wajah berupa moster menganga yang terukir tepat di atas pintu masuk. Meskipun terlihat seram, tapi tak menyurutkan keberanian kami untuk masuk. Konon, rupa moster itu disimbolkan sebagai penjaga pintu.
Semakin ke dalam semakin terlihat gelap. Dorong-mendorong tak terhindarkan di antara kami berdua. Pada akhirnya, terpaksa aku memberanikan diri, sedikit demi sedikit mengintip ke segala arah, memastikan bahwa tidak ada sesuatu yang aneh ataupun menakutkan di sekitar ruangan. Dan benar saja, hanya ada satu bangunan kotak yang berbentuk seperti makam. Aku menyangka, itu adalah makam kuno. Akan tetapi, Yugni dengan pengetahuan dan pengalamannya dari Candi Prambanan, memberikan informasi bahwa bangunan tersebut merupakan lingga-yoni, sebuah ukiran batu yang berbentuk seperti meja. Konon katanya, merupakan lambang dewa siswa yang menyatu dengan Dewi Parwati. Aku dan Yugen tidak tahu pasti soal hal itu.
Kami tidak berani beralam-lama dalam ruang gelap itu, selain terdapat ukiran batu berbentuk meja tersebut, juga terdapat lukisan-lukisan dan tulisan-tulisan kuno di dinding candi. Semakin membuat bulu kuduk merinding, bahkan bulu jaket hitam yang ku kenakan juga merinding sepertinya. Lalu, aku memundurkan badan sembari melangkah ke belakang dan membungkuk sedikit.
“Kenapa?” Tanya Yugen yang melihat jalanku terlihat aneh.
“Menghargai,” jawabku singkat, dan ia paham.
Bukan berarti aku mempercayai tempat itu kesucian sejati yang mesti ku sembah. Bukankah segala tempat di dunia ini akan tetap menghadap pada muara yang Satu, sang Khalik. Hanya saja itu bagian sederhana dari bentuk toleransi umat beragama. Kita tidak sepakat soal konsep ketuhanan, bukan berarti kita tidak sepakat terhadap konsep moralitas, filsuf menyebutnya sebagai humanisme dan seluruh tokoh agama di dunia ini sepakat soal itu.
Sesampainya di pintu masuk, aku langsung membalikkan badan. Tiba-tiba, “woaah,” hampir saja aku berteriak. Salah satu dari tiga candi kecil yang berderet menghadap candi utama, yaitu candi yang berada di tengah terdapat patung sapi melotot ke arah kami. Kami yang penasaran langsung menghampiri. Patung sapi itu sedang duduk dengan tenang, seakan sedang menunggu empunya menyelesaikan perjalanan spiritualnya.
Dua candi kecil lainya tak luput dari rasa penasaran kami. Ternyata tidak semua isinya patung sapi, atau hewan. Bedanya, sangat kontras. Candi kecil yang satu, di sebelah kiri candi utama, mirip atau sepertinya sama dengan yang ada di candi utama, yoni, hanya saja lebih kecil berkali lipat. Candi kecil yang satu lagi terdapat ukiran batu seperti sumur kecil. Ruang ketiga candi kecil ini tidak semerinding ruang candi utama.
Setelah puas melihat-lihat, kami berfoto ria mengabadikan momen, sekedar jadi bahan cerita ketika pulang kampung atau pada anak-anak suatu hari nanti. Kami berkeliling melihat-lihat suasana lingkungan candi, sembari mencari spot poto yang cocok untuk mengambil angle. Tak sengaja di belakang candi utama kami melihat susunan batu yang sedikit berantakan dan sedikit rapi. Tentu, pastinya sisa-sisa bangunan candi.
Karena penasaran, kami pun menghampiri. Sepertinya, tempat yang bagus untuk mengambil gambar. Namun, ada sesuatu yang sedikit mengganggu penglihatan. Terdapat susunan rangka besi yang letaknya tidak jauh dari sisa-sisa bangunan candi tersebut. Juga, di belakang sisa-sisa bangunan Candi itu terdapat susunan batu-bata merah, memang tidak nampak kalau dari depan. Entah apa tujuannya, mungkin ada maksud dan alasan dari pihak pengelola. Hanya saja, sedikit mengurangi nilai-nilai ke-estetika-annya, kalau katanya teman-teman seni. Alangkah baiknya, barang kali dibuatkan tempat atau ruangan khusus untuk menyimpan barang-barang yang selain unsur candi, baik yang masih berguna ataupun belum berguna.
Setelah berkeliaran mengelilingi area lingkungan candi utama, kami berbalik arah turun menuju area bangunan candi yang lainnya. Melakukan hal yang sama, melihat-lihat, lalu mengambil gambar, dan sedikit mengobrol tentang peninggalan sejarah dan budaya, hingga kemana-mana, terka-menerka, kait-mengakit, tapi itu hanya bagian dari sedikit dialektika berbudaya.
Berakhir sudah perjalanan kami, menelusuri hampir setiap sudut Candi Ijo. Dari perjalanan itu, saya menyadari satu hal. Sepertinya, Candi Ijo bukanlah satu-satunya harta sejarah yang tersembunyi, masih banyak yang lain, hanya saja belum terekspos secara masif.
Saya teringat dengan sebuah essay yang ditulis oleh Imam Mujahidin Fahmidi, Guru Besar Universitas Hasanuddin, di kolom opini Kompas. Beliau menutup essaynya dengan menuliskan sebuah kalimat, “Narasi besar bukan hanya soal sejarah atau mitologi; ia adalah alasan kita bertindak, alasan kita ada. Tanpa narasi itu, kita hanyalah sekumpulan pulau yang terapung.”
Melalui tulisan itu, beliau berharap dan mengajak kita sebagai generasi bangsa untuk memulai menyusun dan menulis narasi besar tersebut, tidak hanya untuk kita, tapi juga untuk dunia. Hal itulah yang mendorong saya untuk menulis tentang perjalanan saya di Candi Ijo bersama seorang sahabat.
Mari kita memulai dari diri kita sendiri. Masih banyak harta sejarah dan budaya yang tersembunyi di sekitar kita, khususnya di Lombok. Melalui Ikatan Keluarga Pelajar dan Mahasiswa Lombok Timur-Yogyakarta, kita bangun narasi-narasi besar Lombok, tunjukkan pada dunia bahwa kita lahir dari rahim bangsa yang hebat.
Komentar
Posting Komentar