Langsung ke konten utama

GHIRAH PESTA DEMOKRASI, MASYARAKAT HARUSLAH MEMBUKA CAKRAWALA BERPIKIR

 Oleh: Cak Emet



Masyarakat harus cerdas mengontrol ghirah-nya dalam menghadapi pesta demokrasi, agar terhindar dari sesuatu yang tidak diinginkan bersama; perpecahan, pertikaian, permusuhan, dan per-per yang buruk lainnya.




“Yang hilang dari kita: Akhlaq sindir Prof. Quraish Shihab melalui sampul bukunya.

Pesta demokrasi sebentar lagi digelar. Seluruh elemen telah memasang kuda-kuda, bersiap-siap menghadapi perhelatan pada ajang perpolitikan yang akan datang. Para pengamat telah mempersiapkan analisanya, para politisi telah mengatur langkahnya, para pemain telah mendesain permainannya, para calon telah memasang timnya, seluruh partai telah menyusun strateginya, dan rakyat sedang memantau dan menonton dari jauh.


Pesta demokrasi yang digelar sekali dalam 5 tahun secara konstitusi ini merupakan pesta rakyat, yaitu sebuah momentum yang menentukan seperti NTB 5 tahun ke depan. Pesta demokrasi selalu dibumbui dengan beragam racikan, mulai dari sosial, budaya, ekonomi, dan bahkan hingga agama. Bahkan tak sedikit menaruh racun dalam bumbu-bumbu tersebut, melakukan segala cara dalam persaingan kontestasi merebut kursi.


Hal tersebut sangatlah lumrah dalam kontestasi politik, karena tak ada dosa dalam etika politik. Dalam konsep etika politik, selama ia mampu mempercantik keburukan tetap saja dikatakan etis berpolitik. Namun, tetap saja dikatakan sebagai perilaku tak ber-adab dalam konsep akhlaqul karimah’. Apabila keluar dari konsep akhlaqul karimah’tak ber-adab–, maka tetap ia berdosa. Karena Islam telah menegaskan dalam ajarannya, bahwa manusia diperintah untuk bersikap dan berlaku mulia seperti yang dituntun Al-Qur’an dan Al-Hadits yang kemudian serta diinterpretasi dalam Qoul Ulama’.


Pada momen-momen tertentu seperti pesta demokrasi sering kali konsepsi demokrasi dibenturkan dengan suatu agama, khususnya agama Islam. Dalam Islam tak ada ketentuan khusus yang mengatur sistem atau serta struktur perpolitikan. Islam hanya menuntun bagaimana cara berpolitik. Tuntunan itu terbingkai dalam konsep ‘akhlaqul karimah’. Seperti halnya bernegara, Islam tak menentukan secara khusus konsep bernegara, entah itu konsep kerajaan, dinasti, khilafah, ataupun demokrasi. Hanya saja Islam menuntun bagaimana menjalankan negara dengan baik. Islam memberikan kebebasan terhadap negara itu sendiri untuk memilih konsep bernegaranya.


Konsepsi Demokrasi Indonesia dan Pandangan Islam.

Indonesia sendiri memilih konsep demokrasi dalam menentukan arah perjalanan roda kepemerintahannya dalam mencapai cita-cita bernegara. Semua kebijakan dan aturan didasari dengan demokrasi, seperti yang tertuang dalam sila ke-4 Pancasila: “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat dan kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan.” Merupakan salah satu semboyan dan pedoman bagi rakyat Republik Indonesia dalam menjalankan sistem kenegaraan.


Hal itu sejalan dengan teori-teori dan konsepsi demokrasi yang ditawarkan oleh para ahli dan tokoh, baik nasional maupun dunia. Dilansir dari Kompas.com, seorang bapak filsuf dunia, Aristoteles, berpendapat bahwa, Demokrasi ialah suatu kebebasan, karena melalui kebebasan setiap warga negara bisa saling berbagi kekuasaan di dalam negaranya. Jhon Locke, juga memberikan argumennya terkait demokrasi, bahwa "bentuk pemerintahan yang demokratis memberi warga rasa kesetaraan sosial dan ekonomi tertentu, kesetaraan inilah yang menghentikan suatu kelompok menindas kelompok yang lain."


Selanjutnya, Hariss Soche, seorang ahli demokrasi Indonesia dan penulis buku ‘Supremasi Hukum dan Prinsip Demokrasi di Indonesia’, mengemukakan pendapatnya bahwa, demokrasi adalah bentuk pemerintahan rakyat yang di dalamnya ada porsi bagi rakyat atau orang banyak untuk mengatur, mempertahankan, serta melindungi dirinya dari paksaan orang lain atau badan yang bertanggung jawab memerintah. Sehingga konsep dan sistem demokrasi Indonesia menganut pada konsep yang ditawarkan oleh Abraham Lincoln, Presiden Amerika Serikat ke-16 yang dikenal sebagai bapak demokrasi, yaitu: “Dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat”.


Teori-teori dan konsepsi demokrasi yang tersebut di atas, tidaklah bertentangan dengan ajaran Islam. Tuhan telah menegaskan dalam Firmannya, “Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauh dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka dan bermusyawarahlah (syawir) dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila telah berbulat tekad, maka bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.” (Q.S. al-Imran)

Musyawarah merupakan kata kunci dalam konsepsi demokrasi. Segala urusan dan permasalahan yang terkait dengan politik, sosial, budaya dan ekonomi haruslah diselesaikan dengan bermusyawarah, karena menurut para ulama hal itu termasuk ke dalam syariah muamalah, yang dimana urusan-urusan tersebut dipandang secara kontekstual.

Seorang tokoh muslim berkebangsaan Mesir yang biasa disebut sebagai pembaharu Islam, yaitu Muhammad Abduh, memberikan kontribusi besar terhadap Islam melalui pemikiran-pemikirannya. Beliau meyakini bahwa Islam dapat mengadopsi untuk berubah dan mengendalikan perubahan yang dibawa oleh pemikir-pemikir negara barat, yaitu mengadopsi hukum-hukum Barat dengan cara selektif. “Islam dapat menjadi basis moral yang progresif dan modern”, ungkap Beliau.


Seorang Cendekiawan sekaligus Mufasir Indonesia yang mendapat gelar doktoral dari Universitas al-Azhar Mesir dan telah memiliki 69 karya yang juga mendapat Anugrah bintang tanda kehormatan oleh Pemerintah Mesir pada 2020 lalu, yaitu Prof. Dr. A.G. K.H. Muh. Quraish Shihab, Lc., M.A., mengemukakan pendapat yang dilansir dari Republika.co.id bahwa, “sebenarnya demokrasi yang diajarkan Islam justru lebih dulu, lebih jelas dari pada demokrasi yang berasal dari Barat”. Beliau menekankan bahwa demokrasi juga bagian dari ajaran Islam, maka bisa dikatakan keliru tindakan seseorang atau sekelompok orang apabila membenturkan konsepsi demokrasi dengan ajaran Islam.


Oleh sebab itu, masyarakat atau umat tidak boleh terpengaruh oleh narasi-narasi segelintir orang yang memanfaatkan momen-momen tertentu yang bisa saja merusak tatanan sosial dan budaya tanah air.


Ghirah Pesta Demokrasi, Membuka Cakrawala Berpikir dalam Menghadapi Kontestasi Politik


Seperti yang telah dijelaskan di awal, pagelaran pesta demokrasi sudah di hadapan mata. Maka satu hal yang harus dipersiapkan oleh seluruh masyarakat adalah mental dalam menghadapi pagelaran pesta tersebut. Prof. Dr. H. Asep Kartiwa, S.H., M.S., Guru Besar Universitas Padjadjaran Bandung, pada pengantarnya dalam buku ‘Sistem Politik Indonesia’ karya Dr. Sahya Aggara, M.Si.

mengemukakan bahwa, “Kondisi sistem politik dewasa ini sangat mengkhawatirkan, terutama ketika dimanfaatkan oleh sebagian (oknum) pemegang atau pelaku dalam pemerintahan yang memegang kendali pemerintahan di beberapa lini, hanya untuk kepentingan pribadi atau kelompok tertentu. Dari kenyataan tersebut, terdapat ketimpangan di berbagai aspek dan sektor kehidupan. Akhirnya, jika kondisi seperti ini dibiarkan secara terus-menerus, kebobrokan dan kehancuran pasti akan terjadi”.


Masyarakat harus berani melakukan perubahan demi masa depan tanah air, NTB pada khususnya. Merefleksi diri, mengevaluasi problem-problem pada tahun-tahun sebelumnya sehingga tak terulang tahun ini ataupun ke depannya. Memperbaiki ghirah pesta demokrasi menjadi kunci perubahan yang lebih progresif. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), ghirah diinput dengan kata girah diartikan sebagai semangat dan dorongan untuk membela kehormatan diri, keluarga, dan agama. Girah juga dalam KBBI merupakan bentuk tidak baku dari kata gairah yang berarti keinginan (hasrat, keberanian) yang kuat'.


Prof. Dr. Kuntowijoyo dalam bukunya yang berjudul “Muslim Tanpa Masjid: Mencari Metode Aplikasi Nilai-Nilai al-Qur'an pada Masa kini” menyebutkan kata ghirah sebagai perbuatan berdasarkan emosi semata-mata, seperti orang yang karena cinta lalu cemburu. Beliau juga membagi emosi sesuai dalam psikologi menjadi dua, yaitu positif dan negatif. Yang positif, di antaranya ialah cinta, senang, tenteram, dan puas. Yang negatif, di antaranya ialah benci, marah, dengki, iri hati, gundah, dan kurang. Beliau juga menyebutkan bahwa ghirah dapat positif atau negatif; positif kalau konstruktif, negatif kalau destruktif. Cinta berat para sufi kepada Tuhan adalah ghirah yang positif, sedangkan benci kelewatan Abu Lahab kepada Nabi Saw. adalah ghirah yang negatif.


Maka diperlukan ghirah positif dari masyarakat dalam menghadapi pesta demokrasi, yaitu ghirah yang konstruktif, ghirah yang membangun rasa cinta dan kasih sayang demi terwujudnya kedamaian serta ketenteraman. Tidak dapat dipungkiri, setiap momentum pesta demokrasi selalu ada seseorang atau sekelompok orang ataupun segelintir orang memanfaatkan suasana dengan melakukan segala macam cara untuk mencapai tujuan tertentu meski tak dibenarkan oleh hukum, entah itu hukum manusia maupun hukum alam. Oleh karena itu, masyarakat harus cerdas mengontrol ghirah-nya dalam menghadapi pesta demokrasi, agar terhindar dari sesuatu yang tidak diinginkan bersama; perpecahan, pertikaian, permusuhan, dan per-per yang buruk lainnya.

Komentar

Popular Posts

"Makrifat dari Kaum Pelacur"

 Oleh: Minju Wahai jiwa-jiwa yang terpisah dari tubuh. Sungguh merana dan terasingnya dirimu. Hati menangis, tapi mulut harus tetap bersuara merdu. Hidup bagaikan dipasung ditiang salib lebih lama dari yang dialami Yesus sang penebus dosa. Bedakmu yang tebal yang tebal tercipta dari sengsara yang tak mau berpisah dari kulitmu. Bajumu yang terbuka dan aurat yang kau perlihatkan ternyata masih kalah menariknya dari para pemimpin kita yang setiap hari memamerkan rumah mewah dan mobil keluaran terbaru mereka dari pabrik terkenal. Tubuhmu, kutukan yang muncul bukan dari langit tapi ciptaan yang dinasabkan oleh kekuatan sosial dan ekonomi politik. Adakah ahli spiritual dan mistikus yang sudi membahasakan desahanmu yang tidak kalah religiusnya dengan suara azan di menara-menara rumah tuhan? Perjalanan hidupmu dalam meresapi penderitaan hingga merasuk ke dalam pori-pori tubuhmu adalah salah satu bentuk aktifisme spiritual yang mendarah daging dalam dunia.  “Kami tidak pernah memilih h...

Tidak Hanya Menambang SDM, Perguruan Tinggi Juga Menambang SDA

Tugas dan tanggung jawab Perguruan Tinggi sebagai institusi akademik, ia tak lepas dari Tri Dharma Perguruan Tinggi: Pendidikan, Penelitian, dan Pengabdian. Dalam pembahasan revisi pembaharuan UU Minerba di ruang DPR, kerja Perguruan Tinggi tidak hanya menggali ilmu, namun juga menggali tanah. Sektor usaha tambang bukanlah satu-satunya. Bukankah, masih banyak sektor-sektor usaha lain yang bisa dikatakan tidak begitu sensitif terhadap persepsi publik. Oleh: Cak Emet Setelah memberikan izin pengelolaan tambang pada organisasi kemasyarakatan, kini Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) memberikan izin pengelolaan tambang kepada Perguruan Tinggi. Sektor pertambangan semakin menjadi sorotan publik. Beragam respon muncul dari beragam kelompok dan institusi, mulai dari komunitas lingkungan, Asosiasi Pertambanhan, hingga institusi perguruan tinggi. Pro dan kontra tak terhindarkan. Ada yang mengkritik, ada pula yang menerima secara terbuka, selain itu ada juga memberi pertimbangan dengan sikap netral....