Langsung ke konten utama

“Pembaca lebih baik dari penulis”

Seni berbicara dan seni menulis, adalah dua hal mendasar yang mahasiswa masih banyak yang mengabaikannya. Dua seni ini harus dikuasai oleh para mahasiswa, setidaknya menjadi senjata untuk menyuarakan kebenaran, sehingga bisa dikatakan sebagai agen of change dan agen of control.

 

Oleh: Ibnu Russel

Tulisan ini membahas lebih dalam arti sebuah “pembaca” dan “penulis”. Argumen pembaca lebih baik dari penulis adalah hasil renungan sejenak setelah membaca buku seni memahami dari tulisan F. Budi Hardiman. Khusus membahas di bagian awal buku yakni tokoh pertama yang memperkenalkan Hermeneutik yaitu Schleiermacher.

Tokoh ini membahas bagaimana hermeneutik bekerja. Ia lahir pada 21 November 1768 di Breslau, sisilia atau yang sekarang masuk di wilayah polandia. Ia dibesarkan dalam keluarga protestan dan menjadi tokoh yang memimpin Jemaah saat itu, orang tuannya memberikan dia pendidikan yang baik bahkan dikirim kesebuah seminar di Barby/Elbe. Disana Schleirmacher berkenalan dengan kepustakaan ilmiah dan filosofis, dan itu yang membuat dia bimbang terhadap apa yang Ia yakini.

Di dalam kehidupan sehari-hari kita berkomunikasi dengan orang lain, memahami adalah kunci untuk mengetahui maksud dari lawan bicara kita dengan lebih mendalam dan kritis. Objek memahami tidak lain daripada Bahasa, namun Bahasa tidak bisa dilepaskan dari si penuturnya. Dan perlu kita ketahui bersama bahwa manusia tidak berpikir tentang hal yang sama, meski memakai kata yang sama.

Kiat perlu membedakan dua hal, antara memahami apa yang dikatakan dalam konteks Bahasa dengan kemungkinan-kemungkinan dan memahami apa yang dikatakan itu sebagai sebuah fakta di dalam pemikiran si penuturnya. Antara teks dan maksudnya, antara symbol dan acuannya dan antara kata dan maknanya, ini menjadi perlu untuk menjadi pertimbangan-pertimbangan, karna masih terdapat kesalah pahaman di dalamnya.

Seni berbicara dan seni menulis, adalah dua hal mendasar yang mahasiswa masih banyak yang mengabaikannya. Dua seni ini harus dikuasai oleh para mahasiswa, setidaknya menjadi senjata untuk menyuarakan kebenaran, sehingga bisa dikatakan sebagai agen of change dan agen of control. Yang tidak kalah penting dalam tulisan ini adalah seni mendengarkan, dalam kajiannya Schleiermacher “hermeneutik” harus lebih dimengerti sebagai seni mendengarkan daripada seni berbicara, seni membaca daripada seni menulis.

Dalam seni membaca, Scheiermacher membedakan interpretasi gramatis dan interpretasi psikologis. Pertama, interpretasi gramatis atau teknis adalah proses memahami sebuah teks bertolak dari Bahasa, struktur kalimat-kalimat dan juga hubungan antara teks itu dengan karya-karya lain yang dengan jenis yang sama. Interpretasi gramatis cendrung dipandang dengan objektif, dengan membaca sumber-sumber yang lain yang relevan dengan pembahasannya.

Sedangkan interpretasi psikologis memusatkan diri pada sisi subjektif teks tersebut, yakni dunia mental si penulis, yang dikaji disini adalah bagaiamana individualitas si pengarang, bagaimana kejeniusannya yang khas. Yakni menghadirkan kembali dunia mental penulisnya atau dalam Bahasa Palmer disebut rekontruksi pengalaman mental pengarang teks. Kita sebagai pembaca seolah-olah mengalami kembali pengalaman penulis teks.

Dalam argumennya Schleirmacher tentang interpretasi psikologis, menyelami mental yang dimaksud bukan penyebab perasaan-perasaan penulis, namun targetnya adalah pikiran penulis bukan emosi yang dirasakan oleh penulis. Atau dengan pertanyaan apa yang dirasakan penulis, namun focus kepada apa yang dipikirkan penulis dengan kalimat-kalimat yang utarakan. Isi pikiran di balik perasaan-perasaan itulah yang relevan untuk pemahaman.

Ketika kita sudah membaca tulisan dengan menempatkan tulisan tersebut secara objektif maupun subjektif dalam posisi pengarang. Kita bisa memahami isi pikiran dan apa makna di dalam isi pikiran tersebut, sehingga “pembaca lebih baik daripada penulis” dapat kita rasakan dan bisa kita pahami.

Wallahu A’lam




Komentar

Popular Posts

"Makrifat dari Kaum Pelacur"

 Oleh: Minju Wahai jiwa-jiwa yang terpisah dari tubuh. Sungguh merana dan terasingnya dirimu. Hati menangis, tapi mulut harus tetap bersuara merdu. Hidup bagaikan dipasung ditiang salib lebih lama dari yang dialami Yesus sang penebus dosa. Bedakmu yang tebal yang tebal tercipta dari sengsara yang tak mau berpisah dari kulitmu. Bajumu yang terbuka dan aurat yang kau perlihatkan ternyata masih kalah menariknya dari para pemimpin kita yang setiap hari memamerkan rumah mewah dan mobil keluaran terbaru mereka dari pabrik terkenal. Tubuhmu, kutukan yang muncul bukan dari langit tapi ciptaan yang dinasabkan oleh kekuatan sosial dan ekonomi politik. Adakah ahli spiritual dan mistikus yang sudi membahasakan desahanmu yang tidak kalah religiusnya dengan suara azan di menara-menara rumah tuhan? Perjalanan hidupmu dalam meresapi penderitaan hingga merasuk ke dalam pori-pori tubuhmu adalah salah satu bentuk aktifisme spiritual yang mendarah daging dalam dunia.  “Kami tidak pernah memilih h...

GHIRAH PESTA DEMOKRASI, MASYARAKAT HARUSLAH MEMBUKA CAKRAWALA BERPIKIR

  Oleh: Cak Emet Masyarakat harus cerdas mengontrol  ghirah -nya  dalam menghadapi pesta demokrasi , agar terhindar dari  sesuatu yang tidak diinginkan bersama ; perpecahan, pertikaian, permusuhan,  dan per-per yang buruk lainnya. “Yang hilang dari kita: Akhlaq ” sindir Prof. Quraish Shihab melalui sampul bukunya. Pesta demokrasi sebentar lagi digelar. Seluruh elemen telah memasang kuda-kuda, bersiap-siap menghadapi perhelatan pada ajang perpolitikan yang akan datang. Para pengamat telah mempersiapkan analisanya, para politisi telah mengatur langkahnya, para pemain telah mendesain permainannya, para calon telah memasang timnya, seluruh partai telah menyusun strateginya, dan rakyat sedang memantau dan menonton dari jauh. Pesta demokrasi yang digelar sekali dalam 5 tahun secara konstitusi ini merupakan pesta rakyat, yaitu sebuah momentum yang menentukan seperti NTB 5 tahun ke depan. Pesta demokrasi selalu dibumbui dengan beragam racikan, mulai dari sosia...

Tidak Hanya Menambang SDM, Perguruan Tinggi Juga Menambang SDA

Tugas dan tanggung jawab Perguruan Tinggi sebagai institusi akademik, ia tak lepas dari Tri Dharma Perguruan Tinggi: Pendidikan, Penelitian, dan Pengabdian. Dalam pembahasan revisi pembaharuan UU Minerba di ruang DPR, kerja Perguruan Tinggi tidak hanya menggali ilmu, namun juga menggali tanah. Sektor usaha tambang bukanlah satu-satunya. Bukankah, masih banyak sektor-sektor usaha lain yang bisa dikatakan tidak begitu sensitif terhadap persepsi publik. Oleh: Cak Emet Setelah memberikan izin pengelolaan tambang pada organisasi kemasyarakatan, kini Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) memberikan izin pengelolaan tambang kepada Perguruan Tinggi. Sektor pertambangan semakin menjadi sorotan publik. Beragam respon muncul dari beragam kelompok dan institusi, mulai dari komunitas lingkungan, Asosiasi Pertambanhan, hingga institusi perguruan tinggi. Pro dan kontra tak terhindarkan. Ada yang mengkritik, ada pula yang menerima secara terbuka, selain itu ada juga memberi pertimbangan dengan sikap netral....