Langsung ke konten utama

"Makrifat dari Kaum Pelacur"

 Oleh: Minju


Wahai jiwa-jiwa yang terpisah dari tubuh. Sungguh merana dan terasingnya dirimu.
Hati menangis, tapi mulut harus tetap bersuara merdu. Hidup bagaikan dipasung ditiang salib lebih lama dari yang dialami Yesus sang penebus dosa. Bedakmu yang tebal yang tebal tercipta dari sengsara yang tak mau berpisah dari kulitmu. Bajumu yang terbuka dan aurat yang kau perlihatkan ternyata masih kalah menariknya dari para pemimpin kita yang setiap hari memamerkan rumah mewah dan mobil keluaran terbaru mereka dari pabrik terkenal. Tubuhmu, kutukan yang muncul bukan dari langit tapi ciptaan yang dinasabkan oleh kekuatan sosial dan ekonomi politik. Adakah ahli spiritual dan mistikus yang sudi membahasakan desahanmu yang tidak kalah religiusnya dengan suara azan di menara-menara rumah tuhan? Perjalanan hidupmu dalam meresapi penderitaan hingga merasuk ke dalam pori-pori tubuhmu adalah salah satu bentuk aktifisme spiritual yang mendarah daging dalam dunia. 

“Kami tidak pernah memilih hidup seperti ini. Sejak kecil kami selalu terbuai oleh pertanyaan tentang cita-cita masa depan. Dokter, insinyur, guru, profesor, direktur dan sebagainya, adalah suara-suara yang kini terdengar menyakitkan, karena semuanya itu adalah surga yang terampas dari hidup kami. Menatap kenyataan dan menyambung nyawa adalah jihad kami yang berlumpur. Dunia memang mencaci status dan cara hidup kami, tapi bolehkah kami bertanya; bukankah seharusnya kita terlahir dengan membawa warisan kekayaan tanah air ini sehingga kami mampu mencukupi perut dan mengisi kepala kami dengan pengetahuan. Dengan keduanya kami mampu bertarung dengan gagah di dunia pasar. Tapi dalam kenyataannya, kami dibesarkan dengan hutang dan kelaparan. Dililit usus kemiskinan membuat kami susah mencerna peradaban. Orang tua dipenjara oleh kesengsaraan ekonomi, karena rantai kemiskinan dan kebodohan tidak mau enyah dari desa kami. Pembangunan tidak pernah sampai ke gubug orang tua kami, karena jalur subsidi sudah dibajak oleh pegawai kelurahan, kecamatan, bupati, gubernuran dan pejabat-pejabat teras yang bekerja sama dengan babi-babi berdasi yang rakus dan perlente. Dari situlah, ekonomi-politik menasibkan hidup kami. Yang sudi mampir ke gubug kami hanya azan dan suara feminin ayat-ayat suci yang menuntut kami yang lemah untuk tetap hidup seperti makhluk bersayap lepas dari jejak kaki bumi. Duhai messiah, alasan apa yang membuat kami harus percaya padamu di setiap pawai pemilu berarak-arak dengan uang dan penuh janji-janji penyelamatan?


Kami yang tercerabut dari kehidupan. Ibadah kami bukanlah sembahyang di masjid-masjid dan gereja-pura, tapi langkah kami menuntun para lelaki kaya menuju kamar peraduan surga. Keringat dan desahan kami adalah banjir tasbih dan tahmid yang diajarkan setan untuk tetap dekat dengan nyawa kehidupan. Kami bersetubuh bukan karena cinta dan nafsu, tapi menghidupi nyawa yang diterlantarkan oleh masyarakat dan negara. Persenggamaan kami menyehatkan ekonomi pusat dan daerah, kami penyetor pajak yang setia. Melakukan sesuatu yang tak mungkin dilakukan negara, itulah sedekah kami. Menceburkan diri dalam derita tapi penuh dengan lapang dada. Bukankah hidup kami ini sungguh spiritual, meski gelap dan remang-remang. Muak dan marah, ungkapan perasaan kami pada orang-orang terpelajar dan terhormat tapi kebahagiaan mereka di dunia ekonomi-politik justru menghisap darah kehidupan kami dengan korupsi dan kolusi. Makin cerdas dan pandai seseorang, tidak makin memperhalus watak dan akal-budinya. Pengetahuan dan pendidikan yang ada di kepala para politisi dan pengusaha menjadi senjata pembunuh masa depan kami. Heran, kenapa mereka disebut orang terhormat sedang kami yang jadi korban mereka dinamai makhluk setan sundal, bukankah mereka lebih aniaya daripada kami. Hidup inilah yang justeru menanggung dosa-dosa para pejabat, koruptor, pendidik, pengusaha, dan agamawan yang lari mencari menang sendiri. Oleh merekalah, hidup kami menjadi seperti ini. Kami mampu menikmati dan menjalani kesengsaraan yang diciptakan para kaum terpelajar dan terhormat. Ma’rifat kami adalah menanggung dosa yang lebih menyakitkan dari pada yang Yesus alami, dan meminum limbah kebijakan yang dialirkan dari pabrik-pabrik pendidikan yang diciptakan negara.


Sungguh, kamilah yang patut disebut mistikus sejati, meski harus menaiki tangga puncak ma’rifat yang dibuat para setan pemberani daripada para sufi yang hidup menyepi bersatu dengan tuhan tapi lupa akan kehidupan sekitar. Kami, mistikus lumpur hitam, menuju singgasana tuhan dengan bantuan para iblis dan setan. Merasakan penderitaan dengan nyanyian dan desahan malam. Semoga neraka berbelas kasihan pada tubuh kusut ini, bahwa kami hanya berusaha melanjutkan hidup meski terlempar dari norma dan aturan masyarakat, karena mereka, para ulama dan orang-orang terhormat hanya bisa menghujat dan memberi label haram jadah pada kami semua. Sungguh demi roh anggur, dengan melihat kami, mata kesakralan dan jubah kesucian para ustadz dan kyai akan luntur ditelan keangkuhan mereka yang tiap ceramahnya menjadikan kami sebagai objek penistaan dan penghinaan. Kami yang akan menuntut mereka kelak, di pengadilan kehidupan mendatang.”


Sebuah refleksi mendalam yang penuh kemarahan, kesedihan, dan tuntutan untuk melihat kebenaran yang lebih kompleks di balik struktur-struktur sosial dan moral yang selama ini menindas.



Komentar

Popular Posts

GHIRAH PESTA DEMOKRASI, MASYARAKAT HARUSLAH MEMBUKA CAKRAWALA BERPIKIR

  Oleh: Cak Emet Masyarakat harus cerdas mengontrol  ghirah -nya  dalam menghadapi pesta demokrasi , agar terhindar dari  sesuatu yang tidak diinginkan bersama ; perpecahan, pertikaian, permusuhan,  dan per-per yang buruk lainnya. “Yang hilang dari kita: Akhlaq ” sindir Prof. Quraish Shihab melalui sampul bukunya. Pesta demokrasi sebentar lagi digelar. Seluruh elemen telah memasang kuda-kuda, bersiap-siap menghadapi perhelatan pada ajang perpolitikan yang akan datang. Para pengamat telah mempersiapkan analisanya, para politisi telah mengatur langkahnya, para pemain telah mendesain permainannya, para calon telah memasang timnya, seluruh partai telah menyusun strateginya, dan rakyat sedang memantau dan menonton dari jauh. Pesta demokrasi yang digelar sekali dalam 5 tahun secara konstitusi ini merupakan pesta rakyat, yaitu sebuah momentum yang menentukan seperti NTB 5 tahun ke depan. Pesta demokrasi selalu dibumbui dengan beragam racikan, mulai dari sosia...

Tidak Hanya Menambang SDM, Perguruan Tinggi Juga Menambang SDA

Tugas dan tanggung jawab Perguruan Tinggi sebagai institusi akademik, ia tak lepas dari Tri Dharma Perguruan Tinggi: Pendidikan, Penelitian, dan Pengabdian. Dalam pembahasan revisi pembaharuan UU Minerba di ruang DPR, kerja Perguruan Tinggi tidak hanya menggali ilmu, namun juga menggali tanah. Sektor usaha tambang bukanlah satu-satunya. Bukankah, masih banyak sektor-sektor usaha lain yang bisa dikatakan tidak begitu sensitif terhadap persepsi publik. Oleh: Cak Emet Setelah memberikan izin pengelolaan tambang pada organisasi kemasyarakatan, kini Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) memberikan izin pengelolaan tambang kepada Perguruan Tinggi. Sektor pertambangan semakin menjadi sorotan publik. Beragam respon muncul dari beragam kelompok dan institusi, mulai dari komunitas lingkungan, Asosiasi Pertambanhan, hingga institusi perguruan tinggi. Pro dan kontra tak terhindarkan. Ada yang mengkritik, ada pula yang menerima secara terbuka, selain itu ada juga memberi pertimbangan dengan sikap netral....