Pada hari itu, ketika sore menuju magrib, aku yang pertama kali dalam hidup menginjakkan kaki di Daerah Istimewa Yogyakarta di ajak berkeliling oleh salah satu kawan yang sudah lama tinggal di Jogja, salah satu kunjungan lokasi pada hari itu adalah Tugu Jogja. Pertama kali melihat Tugu Jogja, seperti Tugu di desa ku, Pringgasela. Akar sejarahnya barang kali mirip, akan tetapi cuma berbeda masa berdirinya. Aku melihat Tugu Jogja seperti melihat Tugu Mopra, cuman lebih luas dan ramai, tentu alasan pengunjung berdatangan ke Tugu Jogja jelas berbeda dengan ke Tugu Mopra.
Berdatangan ke Tugu Mopra, kalau bukan alasan berbelanja, ya nongkrong. Di tugu Jogja, aku menyaksikan beragam alasan orang-orang yang berdatangan. Alasann yang paling banyak, pastinya berfoto ria menciptakan momen dan kenangan, juga bukti pernah datang ke Daerah Istimewa Yogyakarta. Seperti halnya dengan ku, meskipun bukan untuk foto-foto, setidaknya aku pernah melihat Tugu Jogja selama masih hayat.
Setiap pengunjung punya alasan tersendiri ketika datang ke Tugu Jogja, tak ada yang cacat dalam alasan itu. Sebagian besar berdatangan untuk mengambil gambar, mungkin saja degan tema aku dan Tugu Jogja (dari perspektif yang sangat subjektif), menjadi sebuah kebanggaan pribadi ketika bisa bersanding dengan Tugu Jogja dalam bingkai foto. Bagaimana tidak, Tugu Jogja merupakan salah satu monumen yang sangat ikonik di Indonesia. Bahkan daerah yang wajib di kunjungi bagi wisatawan, baik asing maupun domestik, ketika berkunjung ke Kota Yogyakarta.
Dari tempat duduk, sembari meminum secangkir Kopi Jos khas Jogja serta sepiring gorengan dan sebiji rokok di tangan kiri, dapat kami saksikan segala aktivitas para pengunjung, mulai dari sekelompok keluarga yang berfoto ria, pejalan kaki yang hanya lewat, sekelompok suporter bola yang trek-trekan, hingga sepasang anak muda yang sedang menikmati romansa malam Tugu Jogja.
Namun, ada satu fenomena paling menarik yang kami saksikan saat duduk di sudut area Tugu dekat miniatur Golong Gilik, seorang bapak-bapak bersama anak laki-laki dan istrinya datang dari arah timur. Mereka mengambil tempat duduk di belakang kami. Terdengar mereka mulai mengobrol. Meskipun tidak jelas apa yang ia ceritakan kepada anaknya, lebih banyak menggunakan Bahasa Jawa, namun sedikit-sedikit ada bahasa Indonesia yang bisa ku pahami sedikit.
“Sepertinya ia sedang mengajarkan anaknya tentang Tugu, kamu paham gak apa yang di ucapkan?” tanya ku pada kawan yang sudah lama tinggal d Jawa dan banyak teman dari Jawa. Ia menjawab, bahwa bapak itu sedang bercerita kepada anaknya tentang Tugu Jogja. Tampak sang anak manggut-manggut seperti memahami sesuatu. Aku melihat, bapak itu sedang menunjukkan kepada anaknya miniatur Golong Gilik di samping tempat kami duduk.
Mulai dari miniatur Tugu Jogja hingga miniatur kerajaan Kesultanan, sambil menunjuk ia bercerita banyak hal kepada anaknya. Sepertinya ia bercerita tentang segala kisah yang ada di balik miniatur tersebut, seperti yang disampaikan oleh kawanku.
Dari fenomena itu aku terinspirasi satu hal untuk dilakukan di masa depan. Alhamdulillah, hari ini aku telah dijodohkan untuk bertemu dengan Tugu Jogja. Semoga di tahun-tahun berikutnya, ketika aku sudah berkeluarga, satu hal yang ku impikan, semoga aku di jodohkan kembali bertemu dengan Tugu Jogja bersama anak dan istri, dan akan kuceritakan tentang Jogja kepadanya. Selain itu, dimanapun aku di jodohkan bertemu dengan ikon-ikon sejarah, akan aku ceritakan bersama anak dan istriku. Amiiiin.
Komentar
Posting Komentar