Oleh: Kamarudin
![]() |
Kasus-kasus Kiyai Ca*ul di Indonesia |
Kiai, menurut saya, ada dua jenis: kiai asli dan kiai palsu. Jenis kiai yang saya soroti dalam tulisan ini adalah kiai jenis kedua, yaitu kiai palsu.
Membedakan kiai asli dan kiai palsu memang tidak mudah. Secara tampilan fisik, mereka tidak bisa dibedakan. Sekilas, kiai palsu ini tampak sama persis dengan kiai asli.
Kiai palsu ini sering kali juga berilmu agama, pandai membaca kitab, mahir dalam ceramah agama, bahkan mungkin pernah mondok di pesantren dan berasal dari keturunan kiai asli. Mereka rajin beribadah dan memiliki pondok pesantren. Sekilas, mereka terlihat seperti kiai yang benar. Membingungkan, bukan?
Namun, inilah yang membedakan mereka: kiai palsu ini sering terlibat dalam perilaku cabul. Mereka melecehkan santriwatinya sendiri. Bayangkan, orang tua memondokkan anak mereka untuk belajar agama, tapi malah dilecehkan oleh kiai yang tidak bermoral ini. Betapa menjijikkannya!
Alasan yang mereka berikan untuk perilaku cabul ini juga sangat menjengkelkan. "Khilaf!" katanya. Bagaimana mungkin melecehkan lebih dari tiga santriwati disebut sebagai khilaf? Melakukan hal ini berulang kali, apakah itu benar-benar khilaf atau justru kebiasaan?
Kasus kiai cabul ini sudah banyak terjadi dalam beberapa tahun terakhir. Dalam bahasa Arab, "banyak" berarti lebih dari tiga. Dan kasus ini memang sudah lebih dari tiga. Salah satu yang mencuat ke berita nasional adalah kasus Gus Beci di Jawa Timur. Itu hanya yang terendus oleh media nasional. Yang tidak terendus, mungkin masih banyak. Kasus yang diketahui, tapi tidak diviralkan, juga ada banyak.
Beberapa kabar yang saya ketahui dan sudah masuk ke ranah hukum melibatkan kiai cabul di Jogja, Kebumen, Magelang, dan juga di Jawa Timur..
Lalu, sebagai masyarakat, apa yang harus kita lakukan? Apakah kita harus berhenti memondokkan anak-anak kita di pesantren? Tentu saja tidak. Saya haqqul yaqin bahwa jumlah kiai asli masih sangat banyak. Kasus kiai cabul ini memang merusak citra para kiai asli yang dengan ikhlas berjuang di jalan agama.
Solusi: Apa yang Harus Dilakukan?
Harus ada standardisasi pendirian pesantren di bawah pengawasan Departemen Agama. Negara perlu membuat aturan yang jelas tentang pelaksanaan kegiatan di pesantren, serta memberikan penyuluhan langsung kepada santriwati tentang batasan pergaulan antara santriwati dan kiai.
Di pesantren, posisi santri dan santriwati jelas berada di bawah kiai. Ketika kiai memberikan perintah, santri harus patuh karena itulah aturan tak tertulis di pesantren. Sayangnya, dalam kasus pelecehan terhadap santriwati, aturan tak tertulis ini menjadi penyebab mengapa pelecehan bisa terjadi.
Di sinilah peran negara, masyarakat, dan tokoh agama sangat dibutuhkan untuk melindungi generasi penerus bangsa. Jangan sampai ulah segelintir kiai palsu merusak citra pondok pesantren sebagai tempat belajar agama, hingga menjadi tempat terjadinya perilaku yang sangat dilarang oleh agama, yaitu perzinahan.
Penyuluhan kepada santri dan santriwati tentang batas-batas pergaulan antara kiai dan santri sangatlah mendesak untuk segera dilakukan. Mengingat banyaknya kasus pelecehan oleh kiai palsu akhir-akhir ini, hal ini menjadi langkah penting untuk melindungi generasi muda.
Penutup
Tulisan ini tidak bermaksud apa pun kecuali sebagai usaha seorang hamba untuk menyelamatkan generasi penerus bangsa dari para kiai-kiai palsu yang cabul dan tidak bermoral.
Salam.
Komentar
Posting Komentar